Cerita Sex88- Sudah dua jam lebih Upit menunggu lewatnya bus jalur 6A yang biasanya
mengantarkannya pergi pulang sekolah. Ya, hanya bus rakyat itulah
satu-satunya sarana transportasinya dari Godean ke SMP Negeri favorit di
bilangan dekat perguruan tinggi negeri. Tapi sejauh ini, bus itu belum
nongol-nongol juga. Padahal kakinya sudah semutan terus berdiri di depan
proyek bangunan berlantai tiga yang rencananya untuk restoran ayam
goreng terkenal dari Amerika itu. Upit yang kelas satu dan belum sebulan
ini masuk sekolah barunya, melirik sekali lagi jam tangannya hadiah
dari kakaknya yang kerja di Batam. Pukul lima siang lewat sepuluh menit.
Inilah arloji hadiahnya jika masuk SMP favorit. Gadis 12 tahun bertubuh
imut tapi tampak subur itu memang pintar dan cerdas. Tak heran jika ia
mampu menembus bangku sekolah idamannya.
Cuaca di atas langit sana benar-benar
sedang mendung. Angin bertiup kencang, sehingga membuat rambut panjang
sepinggangnya yang lebat tapi agak kemerahan itu berkibar-kibar.
Hembusannya yang dingin membuat gadis berkulit kuning langsat dan
berwajah ayu seperti artis Paramitha Rusady itu memeluk tas barunya
erat-erat untuk mengusir hawa dinginnya. Berulang kali bus-bus kota
lewat, tapi jalur yang ditunggu-tunggunya tak kunjung lewat juga.
Sejenak Upit menghela nafasnya sambil menebarkan pandangannya ke seluruh
calon penumpang yang berjejalan senasib dengannya. Lalu menengok ke
belakang, memperhatikan pagar seng bergelombang yang membatasi dengan
lokasi pembangunan proyek tersebut. Tampak puluhan pekerjanya yang
tengah meneruskan kegiatannya, walaupun cuaca sedang jelas hendak hujan
deras. Hilir mudik kendaraan yang padat kian membuat kegelisahannya
memuncak.( klik dan daftar untuk Video)
Mendadak hujan turun dengan derasnya.
Spontan saja, Upit dan tiga orang calon penumpang bus kota yang di
antaranya dua pasang anak SMA dan seorang bapak-bapak secara bersamaan
numpang berteduh masuk ke lokasi proyek yang pintunya memang terbuka dan
di sana terdapat bangku kayu serta teduh oleh tritisan beton. Sedangkan
belasan orang lainnya memilih berteduh di depan toko fotocopy yang
berada di sebelah bangunan proyek itu. “Numpang berteduh ya, Pak!” pinta
ijin bapak-bapak itu disahuti teriakan “iya” dari beberapa kuli
bangunan yang turut pula menghentikan kerjanya lalu berteduh di dalam
bangunan proyek. Tapi dalam beberapa menit saja, bapak tua itu telah
berlari keluar sambil berterima kasih pada para kuli bangunan setelah
melihat bus kota yang ditunggunya lewat.
Tak sampai lima menit kedua anak SMA itupun mendapatkan bus mereka. Kini Upit sendirian duduk menggigil kedinginan.
“Aduh..!” kaget Upit yang tersadar dari
lamunannya itu tatkala sebuah bus yang ditunggunya lewat dan berlalu
kencang. Tampak wajah gelisah dan menyesalnya karena melamun.
“Mau pakai 6A, ya Dik?” tanya seorang
kuli yang masih muda belia telah berdiri di sampingnya Upit yang tengah
mondar-mandir di depan bangku.
Upit sempat kaget, lalu tersenyum manis sekali.
“Iya Mas. Duh, busnya malah bablas. Gimana nih?!”
“Tenang saja, jalur 6A-kan sampai jam tujuh malam. Tunggu saja di sini, ya!” ujarnya sambil masuk ke dalam.
Upit hanya mengangguk ramah, lalu duduk
kembali di bangkunya, yang sesekali waktu dia menengok ke arah timur,
kalau-kalau terlihat bus jalur 6A lewat. Setengah jam lewat. Tak ada
tanda-tanda bus itu lewat. Upit melihat ke dalam gedung yang gelap itu,
tampak sekitar lima puluh kuli sedang istirahat. Sebagian asyik ngobrol,
lainnya merokok atau mandi di bawah siraman air hujan. Lainnya terlihat
terus-menerus memperhatikan Upit. Perasaan tak enak mulai menyelimuti
hatinya.
Belum sempat otaknya berpikir keras
untuk dapat keluar dari lokasi proyek, mendadak sepasang tangan yang
kuat dan kokoh telah mendekap mulut dan memiting lehernya. Upit kaget
dan berontak. Tapi tenaga kuli kasar itu sangatlah kuat, apalagi kuli
lainnya mengangkat kedua kaki Upit untuk segera dibawanya masuk ke dalam
bangunan proyek.
“Diam anak manis! Atau kami gorok
lehermu ini, hmm!” ancam kuli yang telanjang dada yang menyekapnya itu
sambil menempelkan sebilah belati tajam di lehernya, sedangkan puluhan
kuli lainnya tertawa-tawa senang penuh nafsu birahi memandangi kemolekan
tubuh Upit yang sintal padat berisi itu. Upit hanya mengagguk-angguk
diam penuh suasana takut yang mencekam. Tak berapa lama gadis cantik itu
sesenggukan. Tapi apalah daya, suara hujan deras telah meredam tangis
sesenggukannya. Sedangkan tawa-tawa lima puluh enam kuli usia 16 sampai
yang tertua 45 tahun itu kian girang dan bergema sembari mereka
menanggalkan pakaiannya masing-masing.
Upit melotot melihatnya.
“Jangan macam-macam kamu, ya. Hih!”
ancamnya lagi sambil membanting tubuh Upit di atas hamparan tenda deklit
oranye yang sengaja digelar untuk Upit. Tas sekolahnya diserobot dan
dilempar ke pojok. Upit tampak menggigil ketakutan. Wajahnya pucat pasi
menyaksikan puluhan kuli itu berdiri mengelilingi dirinya membentuk
formasi lingkaran yang rapat.
“Tolong.. tolong ampuni saya Pak..
jangan sakiti aku.. kumohon.. toloong, ouh.. jangan sakiti aku..” pinta
Upit merengek-rengek histeris sambil berlutut menyembah-nyembah mereka.
Tapi puluhan kuli itu hanya tertawa
ngakak sambil menuding-nuding ke arah Upit, sedangkan lainnya mulai
menyocok-ngocok batang zakarnya masing-masing.
“Buka semua bajumu, anak manis! Ayo buka
semua dan menarilah dengan erotisnya. Ayo lakukan, cepaat!” perintah
yang berbadan paling kekar dan usia sekitar 30 tahun itu yang tampaknya
adalah mandornya sambil mencambuk tubuh Upit dengan ikat pinggang
kulitnya.
“Cter!”
“Akhh.. aduh! Sakit, Pak.. akhh..!” jerit kesakitan punggungnya yang kena cambuk sabuk.
Tiga kali lagi mandor itu mencabuk dada,
paha dan betisnya. Sakit sungguh minta ampun. Upit menjerit-jerit
sejadinya sambil meraung-raung minta ampun dan menangis keras. Tapi toh
suaranya tak dapat mengalahkan suara hujan.
“Cepat lakukan perintahku, anak manja!
Hih!” sahut mandor sambil melecutkan sabuknya lagi ke arah dada Upit
yang memang tumbuhnya belum seberapa besarnya, bisa dikatakan, buah
dadanya Upit baru sebesar tutup teko poci. Upit kembali meraung-raung.
“Iya.. iya Pak.. tolong, jangan
dicambuki.. sakiit.. ouh.. ooh.. huk.. huuh..” ucap Upit yang telah
basah wajahnya dengan air mata.
Ucapannya itu disahuti oleh gelak tawa para kuli yang sudah tak sabar lagi ingin menikmati makan sore mereka.
“Aduuh, udah ngaceng nih, buruan deh lepas bajunya.”
“Iya, nggak tahan lagi nih, mau kumuntahkan kemananya yaa?”
Perlahan Upit beranjak berdiri dengan isak tangisnya.
“Sambil menari, ayo cepat.. atau kucambuk lagi?” desak mandor mengancam.
Upit hanya mengangguk sambil menyadari bahwa batang-batang zakar mereka telah ereksi semua dengan kencangnya.
Upit perlahan mulai menari sekenanya
sambil satu persatu memreteli kancing seragam SMP-nya, sedangkan para
kuli memberikan ilustrasi musik lewat mulut dan memukul-mukulkan ember
atau besi. Riuh tapi berirama dangdut. Sorak-sorai mewarnai jatuhnya
bajunya. Upit kian pucat. Kini gadis itu mulai melepas rok birunya. Kain
itu pun jatuh ke bawah dengan sendirinya. Kini Upit tinggal hanya
memakai BH dan CD serta sepatu. Sepatu dilepas. Upit lama sekali tak
melepas-lepas BH dan CD-nya. Dengan galak, mandor mencabuk punggungnya.
“Cter!”
“Auukhh.. ouhk..!” jerit Upit melepas BH dan CD-nya dengan buru-buru.
Tentu saja dia melakukannya dengan
menari erotis sekenanya. Terlihat jelas bahwa Upit belum memiliki rambut
kemaluan. Masih halus mulus serta rapat. Tepuk tangan riuh sekali
memberikan aplaus.
Sedetik kemudian, rambut Upit dijambak untuk dipaksa berlutut di depan mandor. Upit nurut saja.
“Ayo dikulum, dilumat-lumat di disedoot.. kencang sekali, lakukan!” perintahnya menyodorkan batang zakarnya ke arah mulut Upit.
Upit dengan sesenggukan melakukan perintahnya dengan wajah jijik.
“Asyik.. terus, lebih kuat dan kencang..!” perintahnya mengajari juga untuk mengocok-ngocok batang zakar mandor.
Upit dengan lahap terus menerus
menyedot-nyedot batang zakarnya mandor yang sangat keasyikan. Seketika
zakar itu memang kian ereksi tegangnya. Bahkan mandor menyodok-nyodokkan
batang zakarnya ke dalam mulut Upit hingga gadis itu nyaris
muntah-muntah karena batang zakar itu masuk sampai ke kerongkongannya.
Di belakang Upit dua kuli mendekat
sambil jongkok dan masing-masing meremas-remas kedua belah buah dadanya
Upit sembari pula mempintir-plintir dan menarik-narik kencang
puting-puting susunya itu.
“Ouuhk.. hmmk.. aauuhk.. hmmk..!” menggerinjal-gerinjal mulut Upit yang masih menyedot-nyedot zakar mandor.
Tak berapa lama spermanya muncrat di dalam mulut Upit.
“Creeot.. cret.. croot..!”
“Telan semua spermanya, bersihkan zakarku sampai tak tersisa!” perintah galak sambil menjambak rambut Upit.
Gadis itu menurut pasrah. Sperma ditelannya habis sambil menjilati lepotan air mani itu di ukung zakar mandor sampai bersih.
Mandor mundur. Kini Upit kembali
melakukan oral seks terhadap zakar kuli kedua. Dalam sejam Upit telah
menelan sperma lima puluh enam kuli! Tampak sekali Upit yang
kekenyangkan sperma itu muntah-muntah sejadinya. Tapi dengan galak
mandor kembali mencambuknya. Tubuh bugil Upit berguling-guling di atas
deklit sambil dicambuki omandor. Kini dengan ganas, mereka mulai
menusuk-nusukkan zakarnya ke dalam vagina sempit Upit. Gadis itu
terlihat menjerit-jerit kesakitan saat tubuhnya digilir untuk diperkosa
bergantian. Sperma-sperma berlepotan di vagina dan anusnya yang oleh
sebagian mereka juga melakukan sodomi dan selebihnya membuang spermanya
di sekujur tubuhnya Upit. Upit benar-benar tak tahan lagi. Tiga jam
kemudian gadis itu pingsan. Dasar kuli rakus, mereka masih
menggagahinya. Rata-rata memang melakukan persetubuhan itu sebanyak tiga
kali. Darah mengucur deras dari vagina Upit yang malang.
( klik for Video)